By Unknown | At 23:21 | Label :
Dunia Islam
| 0 Comments
dakwatuna.com. Banyak orang menjadikan haji mabrur
sebagai sebuah misteri. Sehingga kadang menjadi monopoli seseorang untuk
mengatakan bahwa hajinya mabrur, dan haji orang lain tidak. Kalau kita
mengetahui maknanya, haji mabrur adalah sesuatu yang jelas, dan bisa
kita usahakan.
Rasulullah saw. berjanji bahwa orang yang hajinya mabrur akan diampuni semua dosanya, dan akan dimasukkan ke dalam surga. Oleh karena itu haji mabrur menjadi keinginan setiap orang.
Secara bahasa, haji seseorang akan dikatakan mabrur di antaranya jika orang tersebut melakukan amal-amal al-birr dalam pelaksanaan hajinya. Sedangkan amalan al-birr mempunyai beberapa makna, di antaranya:
Makna Pertama, Berbuat Baik kepada Orang Lain
Suatu kali Rasulullah saw. ditanya tentang maksud al-birr. Beliau menjawab, “Al-birr adalah akhlak yang baik.” [HR. Muslim]. Beliau juga berkata, “Al-Birr itu adalah hal yang sangat sederhana; menampakkan wajah yang cerah, dan menuturkan kata-kata yang lembut.” [HR. Al-Baihaqi].
Bersikap ramah dan berkata lembut sangatlah diperlukan dalam ibadah
haji. Menurut para ulama, dua hal itu menunjukkan perintah untuk
melakukan segala sikap yang baik; dengan lisan maupun perbuatan. Hal itu
karena menunaikan ibadah haji memerlukan perjalanan jauh,
Dalam bahasa Arab, perjalanan disebut dengan kata “safara”
yang bermakna menampakkan. Disebut demikian karena perjalanan memang
bisa menampakkan perangai asli seseorang. Egoisme, tidak sabaran,
pemarah, akan tampak dalam perjalanan. Menahan dan merubah perangai
buruk adalah hal yang sangat berat. Sehingga tidak mengherankan jika
diterima-tidaknya sebuah haji.
Di antara bentuk akhlak mulia bagi seorang musafir adalah membantu
dalam hal bekal perjalanan, tidak banyak berbeda pendapat apalagi
berdebat, dan banyak bercanda yang tidak membuat murka Allah swt. Tanpa
hal-hal itu, suasana haji yang seharusnya bersifat ukhrawi akan
berubah menjadi suasana yang penuh pertengkaran, rebutan, dan
sebagainya. Karena jumlah mereka sangat banyak; masing-masing memiliki
kebutuhan dan keinginan.
Ada seorang ulama yang membuat sebuah kesimpulan bahwa melayani
sesama musafir lebih utama daripada ibadah yang dilakukan sesaat.
Apalagi jika karena ibadah, seseorang jadi tergantung kepada bantuan
orang lain.
Ada sebuah kisah, seorang ahli ibadah bernama Bahim Al-‘Ajaly
pergi haji bersama seorang yang kaya. Di awal perjalanan mereka,
Al-‘Ajaly menangis. Beliau berkata, “Perjalanan ini mengingatkanku
kepada perjalanan menuju Allah swt.” Kemudian beliau menangis
sejadi-jadinya. Kejadian ini membuat orang kaya itu khawatir akan
repotnya bepergian bersama orang yang seperti ini.
Ketika pulang haji, ada seseorang yang menemui orang kaya tersebut.
Dia bertanya, “Bagaimana perjalanan bersama Al-‘Ajaly?” Orang kaya
tersebut menjawab, “Demi Allah, aku tidak yakin ada manusia seperti
beliau. Beliau memenuhi kebutuhan-kebutuhanku, padahal beliau miskin
sedangkan aku kaya. Kalau ada hal yang perlu dikerjakan, beliau juga
yang mengerjakannya, padahal beliau sudah tua sedangkan aku masih muda.
Beliau juga yang memasak makanan, padahal beliau sedang berpuasa
sedangkan aku tidak.”
Lain lagi dengan kisah Abdullah bin Mubarak. Bila hendak
menunaikan ibadah haji, beliau menawarkan kepada sahabat-sahabatnya,
“Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji?” Kalau ada yang mau, beliau
mengambil uang-uang mereka. Beliau masukkan ke dalam sebuah peti, lalu
beliau tutup dan kunci rapat-rapat. Selama dalam perjalanan dan
melaksanakan ibadah haji, beliau memenuhi seluruh kebutuhan mereka;
memberi mereka makanan yang enak-enak; dan memberi mereka hadiah-hadiah
untuk dibawa ke kampung halaman. Setelah selesai dan pulang dari haji,
beliau mengumpulkan mereka lagi dengan membawa peti. Lalu beliau
kembalikan semua uang mereka yang tersimpan utuh dalam peti tersebut.
Makna Kedua, Melaksanakan Semua Ketaatan dan Meninggalkan Kemaksiatan
Selain melaksanakan semua ibadah wajib, seorang haji juga hendaknya
banyak melaksanakan ibadah sunah. Seperti Rasulullah saw. yang selalu
melaksanakan qiyamullail walaupun dalam perjalanan. Beliau melakukannya di atas untanya. Ada seorang ulama Yaman bernama Al-Mughirah bin Al-Hakim
yang pergi haji dengan berjalan kaki. Setiap malam beliau menghabiskan
sepertiga Al-Qur’an. Kadang beliau berhenti jalan untuk menghabiskannya
dalam shalat. Pagi harinya baru beliau menyusul rombongan. Kadang baru
dapat bertemu dengan mereka di sore hari.
Selain amalan al-birr, seorang haji yang ingin mabrur hajinya juga hendaknya meninggalkan semua yang dilarang Allah swt. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Barang
siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji,
maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan,
niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik
bekal adalah takwa.” [Al-Baqarah: 197].
Disebutkan pentingnya berbekal taqwa. Beberapa ulama salaf berkata, “Bertakwalah. Sesungguhnya orang yang bertakwa tidak akan merasa sendirian.”
Bertakwa berhubungan sangat erat dengan meninggalkan larangan Allah
swt. Karena takwa artinya adalah takut siksaan-Nya, sehingga tidak
melakukan sebuah dosa.
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah bekal perjalanan haji.
Bekal haji harus dari harta yang halal. Bagaimana mungkin mendekatkan
diri kepada Allah swt. dengan harta yang tidak suci? Bagaimana mungkin
membersihkan diri dengan amalan yang kotor? Bekal yang tidak suci akan
membebani kita dalam beramal. Kalaupun bisa beramal, amalan itu tidak
akan diterima Allah swt., karena Allah swt. hanya menerima hal-hal yang
suci.
Hal yang sama pentingnya adalah menjaga niat hajinya. Jangan sampai haji tersebut diniatkan untuk riya’ (supaya dilihat orang lain), sum’ah
(supaya didengar orang lain), berbangga-banggaan, sombong, dan
sebagainya. Hendaknya haji diniatkan ikhlash hanya untuk Allah swt.,
kemudian dilaksanakan dengan penuh khusyu’ dan tawadhu’. Kalau tidak demikian, haji hanya menjadi amalan yang sia-sia.
Pernah ada orang yang berkata kepada Ibnu Umar ra., “Sungguh banyak orang yang melaksanakan haji.” Beliau menjawab, “Sungguh sedikit orang yang melaksanakan ibadah haji.” Kemudian ketika datang seorang yang sangat lusuh, menunggang unta yang kurus, beliau berkata, “Mungkin inilah orang yang melaksanakan haji.”
Syuraikh mengatakan, “Orang yang melaksanakan haji itu sedikit
walaupun rombongan haji itu banyak. Sungguh banyak orang yang melakukan
kebaikan, tapi sungguh sedikit dari mereka yang mengharap ridha Allah
swt. Banyak orang yang bepergian mengarungi padang pasir, tapi yang
sampai kepada tujuan hanyalah sedikit.” Wallahu A’lam